Rabu

Akhir Juni

Senandung akhir Juni
terasa lagi.

Tiga tahun lalu,
seorang aku membisu.

Disuruh berpertualang
oleh dia yang tidur dalam liang.

Suasana tiga tahun lalu
masih terasa haru.

Beberapa daging mati
dan pergi tanpa kaki.

Termasuk diri ku
yang mati dan pergi tanpa kaki.

Aku sudah pergi berpetulang
dan berdoa ditempat dia berbaring.

Aku masih tak punya kaki
dan aku masih saja mati.

Hujan akhir Juni selalu
masih sama seperti waktu itu.

Senandung-senandung
terus mendengung.

Senandung akhir Juni
masih saja membuat iri.

Senandung akhir Juni
dan hujan ini.

Menguap begitu saja
pada tanah kuburan ini.

Menengadahlah aku
pada mega yang tak lagi biru.

Teringat kata-kata ku
di Bangsal Kaca tiga tahun lalu.

Hujan akhir Juni segera pergi,
mari hidup dengan selimut pelangi.

(Juni, 2016)

Kamis

Ranum

Ada luka 
yang teraniaya,
ranum senja
akan menemaninya.

Ada puisi ku
yang menderita,
ranum senyum mu 
akan memeluknya.

Saat luka dan puisi ku 
yang terlunta-lunta,
ranum puting mu
tak sanggup mengobatinya.

(Juni, 2016)

Selasa

Aku A

Sebut saja aku A.
Tak kurang, tak lebih.
Aku sudah lebih dari hari,
minggu, bulan, tahun ada di Bumi.

Aku roh yang tertinggal di Bumi.
Menetap pada tubuh yang tertinggal
di rumah sakit yang biru
pinggir jalan kala itu.

Setiap hari setelah kala itu,
aku minum dan makan
ala Bumi. Layaknya mereka
makan hasil keringat mereka.

Aku A. Amnesia.
Bila ada yang mengingat aku,
hanya mereka yang meninggalkan
aku di Bumi.

Aku lupa kenapa dan mengapa
aku tertinggal di Bumi.
Satu hal kecil pun
aku tak ingat.

Hingga detik ini
masih berjalan sama
pada jarum
di dinding itu.

Aku masih percaya
kepada meraka yang berkeringat
untuk ku. Dan selalu komat-kamit
dengan Aku Percaya mereka.

Aku masih asing, walau tak asing,
dengan Aku Percaya mereka.
Saban hari aku mendengarnya
walau tak terdengar aneh oleh ku.

Setiap hari ketujuh tiap minggu
mereka pergi ke gedung
yang sampai sekarang
aku tak percaya dalamnya.

Megah.
Riuh.
Aneh.
Tapi aku tak asing.

Setelah mereka pulang,
akan selalu sama,
akan selalu itu,
“Kamu tak ikut lagi?”

“Hmm....”
Selalu jawab ku.
Selalu mereka berpaling,
dan pergi ke ruang makan.

Hari, minggu, bulan, tahun,
aku hadapi dengan sama,
“Hmm....” yang sama,
dan berpaling yang sama mereka.

Aku masih aneh dan asing,
walau tak begitu aneh dan asing.
Bumi. Tempat yang aneh dan asing,
walau tak begitu aneh dan asing.

Dewasa ini aku punya kartu kecil
yang cukup aneh dan asing bagi ku.
Tapi tak mengapa,
agar sama dengan mereka.

Kartu ku banyak huruf
yang aku pelajari sekian tahun ini.
Bahkan juga ada angka
di dalamnya.

Nama: A. (Sementara)
Kota: Yogyakarta. (Sementara)
Lahir: 25 Mei 1993 (Sementara)
Agama: Katholik. (Sementara)

Ah. Sementara.
Benar juga, aku juga,
sementara juga.
Tinggal di Bumi ini.

Tapi sampai kapan,
sesal ku.
“Hmm...”
Sementara juga keluar dari mulut ku.

Saat mereka di ruang makan
tiba-tiba ada tikus
menyambar lauk
mereka.

Aku keluar dari kamar,
melihat mereka kerasukan
entah setan apa
saat tikus itu pergi.

“Wah! Asu!
Tempene digondol
tikus! Aduh gimana
ini Gusti....”

Serempak
duet mereka
memenuhi seluruh
rumah.

Tiba-tiba pula
mata ku pudar.
Sesak memenuhi
dada ku.

Kata-kata mereka
penuh tanda seru.
Menggerogoti seluruh
tubuh ku.

Aku lemas, lunglai
tergeletak. Sadar.
Bukan antara aku
sadar dan tidak sadar.

Ini!
Aku ingat semua.
Kata seruan mereka
menyadarkan ku.

Ah, aku ingat,
persis setiap sudut
setiap cerita
yang tertutupi amnesia ku selama ini.

Aku A.
Bukan Angel.
Bukan Andreas.
Bukan Antonius.

Bukan Ahmad.
Bukan Arya.
Bukan Arjuna.
Bukan Ali.

Aku A.
A adalah huruf pertama
dari nama ku,
yang selama ini aku lupa.

Aku A.
Aku A. Tetap si A
yang berarti Asu.
Aku A. Nama ku Asu.

Entah itu nama atau pujian,
atau umpatan, atau malah doa.
Setelah aku tahu nama ku, tetap saja,
aku hanya bisa “Hmm....”

(Juni, 2016)

Rabu

Nol

Satu. Dua. Tiga. Empat.
Lima. Enam. Tujuh. Delapan.
Sembilan. Sepuluh.
Lima. Delapan.
Satu. Sembilan. Sembilan. Lima.

Dimana Nol?
Sedang tidur pulas
dalam dua kali satu.

Nol.

(Juni, 2016)