Seakan-akan malam
ini kau sungguh berbeda dari biasanya. Setiap malam kau selalu nongkrong
bersama ku di warkop ini. Warkop yang kecil di pinggir jalan, ramai saat jam
malam sudah lewat. Selalu sama, kau memesan kopi yang beraroma asam setiap
malamnya. Satu cangkir saja kau masih merasa kurang.
Ah… Aku lupa
setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Selalu merenung
tiada hentinya. Cangkir kopi milikmu selalu lebih cepat dingin. Tak habis. Terkadang
aku kasihan pada bapak pemilik kopi ini. Selalu cermat melihat setiap
pelanggan. Semalam suntuk dia menyuguhkan keringat dan nasib keluarganya pada
secangkir kopi. Senang, bila setiap pelanggan bisa menenggak habis secangkir
kopi buatannya. Tapi bila kau terus begini, apakah nasi yang dimakan oleh
keluarganya akan terasa enak? Bila kau selalu mendiamkan kopi yang kau pesan. Dan
tak pernah kau minum sama sekali.
Ah… Aku lupa
setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Bapak penjual kopi
ikut mengangguk saat bertatap wajah dan mata dengan ku. Seakan-akan dia paham
dan tahu malam ini malam apa. Bapak penjual kopi pasti akan melayani kau. Walau
dia tahu malam ini malam apa. Bapak penjual kopi tetap menyeduh kopi pesanan
mu, dan akan terus berharap setiap tahunnya, pada malam sebelum natal, kopi buatannya bisa diminum
oleh mu dan membuyarkan lamunan mu.
Ah… Aku lupa setiap tahunnya pada malam
sebelum natal kau selalu begini. Selalu melamun tiada henti. Kau bahkan yang
mengajak ku untuk minum setiap malamnya. Selagi kita terus bekerja dan berjaga,
kau selalu begini. “Kapan kau akan terus begini, setiap tahun pada malam
sebelum natal kau selalu begini?” tanya ku disela-sela suara gesekan sothil dan wajan dari pedagang bakmi godog di seberang jalan. Terkekeh kecil
aku, pasti tak akan dijawab pertanyaan singkat ku ini.
Ah… Aku lupa
setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Selalu saja aku
menanyakan pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Teringat dimana malam yang
belum dinamakan malam sebelum natal. Kau sungguh terliaht riang sekali. Sebelum
kau mengajak ku minum di warkop pinggir jalan ini. Kau pergi tanpa kabar, tanpa
memberikan pesan kepada diri ku. Kepergian yang belum jelas kau pergi kemana
dan untuk apa. Pagi hari kau berkata “Raf,
aku sekarang punya anak, dia seorang lelaki, dan dia akan menjadi raja dunia
ini. Ah…Bukan, bahkan menjadi raja seluruh alam semesta ini!” sentak mu membangunkan ku. Bahkan
bapak penjual kopi pun ikut terkaget-kaget dengan sentakan mu. Padahal aku
yakin bapak penjual kopi itu sedang terlelap sebentar, bermimpi membelikan tas
baru buat anaknya yang mau masuk sekolah.
Setelah pagi itu hingga saat ini kau tak pernah membahas tentang hal itu
lagi. Ku dengar dari teman-teman satu pekerjaan dengan kita, kau tidak punya
anak. Ini selalu menghantui ku saat kita setiap malam nongkrong di warkop ini.
Ah… Aku lupa untuk malam sebelum natal, khusus
malam ini aku ada janji dengan seorang wanita. Tanpa basa-basi aku pergi dari
meja tempat kita biasa minum. Aku langsung ke kasir dan membayar pesanan ku tadi. Sembari aku
membayar aku berkedip dengan bapak penjual kopi. Bapak pejual kopi sudah tahu dari arti kedipan
ku. Dia mengangguk, paham bahwa aku menitipkan teman ku yang sedang melamun, dan
aku pergi begitu saja.Seorang wanita sudah menungguku diteras rumahnya. Aku datang
dengan terburu-buru, berharap dia tidak tertidur terlebih dahulu.
Ah…. Sudah ada
secangkir teh dingin di meja teras rumahnya. Entah kenapa wanita kenalan ku ini
terdiam juga. Melamun dan merenung persis seperti teman ku tadi. “Raf, kau tahu
malam bulan ke-enam sebelum aku mengandung?” belum sempat aku duduk dia
bertanya kepada ku. “Ya… aku tahu walau tak tahu semuanya. Memang ada apa Mar?”
Dia mempersilahkan aku duduk, dan aku
mulai aku menenggak teh yang dihidangkannya. “Kau tahu anak ku semata wayang
yang sudah mati bertahun-tahun yang lalu?”
“Ah…. Tentu saja
aku tahu, Mar. Siapa yang tak tahu anak mu itu. Dia adalah lelaki yang
sungguh-sungguh hebat luar biasa. Dia adalah raja dunia ini. Ah… bukan, bahkan
dia raja seluruh alam semesta ini. Masa seorang aku tidak ….” jawaban ku terhenti,
aku tercekat dan kaget dengan jawaban ku. Terasa aku tahu pertanyaan ku selama
ini, pertanyaan yang selalu mengherankan aku setiap tahunnya, setiap malam
sebelum natal.
***
Setiap tahunnya
pada malam sebelum natal, pria bernama Gabriel itu selalu tidak menyentuh
cangkir kopi buatan ku. Aku rasa dia sedang bersedih bukan melamun. Dia selalu
ditemani oleh temannya Rafael, yang sekarang sedang pergi. Katanya dia mau
menemui seorang wanita. Ah…Tapi biarlah, aku hanya seorang penjual kopi.
***
Rintik hujan
mulai turun malam itu. Sepi di teras rumah menemani dua orang yang sedang
terdiam. Malam sebelum natal, mereka berdua terdiam. Seolah- olah cerita yang
diceritakan oleh anak-anak saat sekolah minggu selama ini palsu. Dengan
memberanikan diri dan lirih Rafael bertanya. “Lalu sebenarnya dia anak siapa,
Maria?”
(Oktober, 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar