Rabu

Topeng Sang Putra

Awal melangkah, awal mengukir 
Masih terngiang pahatan pertama
Saat Bunda tak tega melepas palu
Tapi tetap bertekad memahat topeng kayu

Awal memahat pun dimulai dari palu kasih Ibu 
Ku genggam erat sekuat matahari terbit
Aku mulai memahat dengan semangat 
Dan dengan keceriaan

Tapi tetap palu itu terasa berat
Aku lelah memahat topeng itu
Kubiarkan diluar pagar kalbuku
Topeng itu retak, kehujanan, dan akan hancur

Tapi aku ingat pesan Bunda dan tujuanku
Lalu kuambil palu, lalu kuambil topeng itu
Dengan semangat topeng itupun jadi
Dan kunamai Topeng Sang Putra

(Desember, 2011) 

Minggu

Jabat Tangan

Jabat tanganmu dingin
namun hangat kasihmu
hangatkan hatiku.

Kau kecil mungil 
tak berseri.

Ingin ku rasanya terbangkan hati
tuk meraba kesunyian malam
yang mulai mengusik hatimu.

Terkadang sepi menyendiri 
hanya berharap kau ada disini.

Bayangan puith menghantuiku.
Tak kuasa aku bangun dari mimpi.
Butuh parang tuk taklukkan kekerasan hati.

Tak peduli malam atau siang,
tak peduli rindu atau sayang.
Hatiku mulai gersang
tanpa peluk kasih sayang 
walau kau mulai garang.

Kertas yang tersurat ini
ucap panuh kecup 
pusingkan hati dan dahi.
Terkadang ku mengais hati
tanpa isi, tanpa suka
tanpa sedih yang isi
tak ada isi
begitu pula tak ada kosong

Saat jantungku, jantungmu, jantung mereka
kau isi dengan rasa tanpa hampa.

(Desember, 2011)

Rabu

Tetesan Perjuangan

Saat letih menghadang
Saat darah mengucur deras
Dari dada sang Garuda

Garuda emas berkilau matahari
Sekatika berubah merah membara
Api semangat para pahlawan
Keluar dengan keras
Seraya dentuman meriam

Kali ini sungguh naas
Perisai
Sang Garuda harus terkoyak
Dari jiwa-jiwa muda bangsa ini tetesan perjuangan itu
Kini terkucur sia-sia ditanah air ini

Sekarang nahkoda bangsa
Ada digenggaman para muda
Mari kita canangkan sekali lagi
Sumpah kita
Tuk mengibarkan merah putih
Diangkasa luas ini

(November, 2011)

Jumat

Isi Kening Ku

Keningku mulai mengkerut
hasrat menemukan 
jemari dalam kalbu
lenyap tanpa jejak.

Pencarian itu sia-sia.
suara yang dulu berdengung
mulai hilang.

Suara itu kadang-kadang
berbisik merdu
merangkak lirih
dalam telinga ku.

Hendak ku rangkul
Suara lirih itu.
Tapi terhalangi 
oleh melati putih
melati putih 
tak ada kepastian
dimana jiwa ini bersarang.

Masih hembusan angin semata.

Melati putih itu mekar
dalam paru-paruku.

Tapi aneh 
melati itu
tak kunjung datang 
menyambangi rumah kalbuku.

Tanpa sadar 
melati putih 
mulai kuncup
pikiran-pikiran 
nakal 
mulai terbesit 
olehku.

Semut-semut merah
mulai menggigit jemariku
gigitan itu
mulai merangsang 
naluriku
tuk memulai
kemudi itu.

Suara itu 
terdengar kembali.

Berdengung lagi 
mencoba merangkak
dalam telingaku.

Melati putih
mekarlah
berindahlah
bersemilah
bersegarlah

bersama lebah-lebah 
madu itu.

Semut-semut merah
salamku untuk mu
tak pudar dalam 
perjalanan panjang ku ini.

(November, 2011)

Senin

Gua Yang Berlumut

Ku pandangi gua itu.
Tentram rasanya dekat dengan gua itu.
Ku haturkan sembahyang ku,
ditemani lilin kecil menyapa gelapnya malam.

Terangnya lilin kecil menjamah
gua yang berlumut itu.
Tak ku sangka nampaklah wanita cantik
yang tersenyum padaku.

Aku enggan bertolak dari tempat itu.
Sembari daku sembahyang
dengan rosario terurai ditangan ku.

Dari butir ke butir  Rosario,
sungguh menggenang bagiku.

Tiap butir yang dilewati jemari ku
ialah  saksi bisu awal panggilan ku.
Yang mencoba dari lumut,
menjadi terang lilin.

(Oktober, 2011)