Rabu

Ayam Sang Mesias

Aku dari kumpulan
terbuang dan terkandang.
Ibu ku satu
dan entah siapa pula Ayah ku.

Saban hari sang kuasa
memberi kami makan.
Tersebar dan terobrak-abrik
oleh mereka yang jantan perkasa.

Saban hari pula, sang kuasa
selalu memakai pakaian serba coklat tua yang sama,
mata sayu yang sama,
dan raut muka yang sama, bingung
akan nasib keluarganya.

Waktu itu aku masih kecil,
hanya bisa menangis
dalam ketek Ibu ku.

Menunggu waktu,
hari pengadilan
oleh sang kuasa.

Tak dinyana, hari pengadilan
telah datang begitu cepat.
Minggu ke enam, setelah aku
tak menangis lagi
dalam ketek Ibu ku.

Secara paksa
aku diambil sang kuasa.
Aku diarak dari rumah sang kuasa
menuju rumah sang jagal.
Hanya di rumah jagal, aku berpasrah.
Disanalah sang jagal
yang memutuskan.

Wajah sang jagal tak begitu seram.
Raut wajahnya kebapakan, rambut, kumis,
dan jenggotnya berwarna putih.

Ku lihat sang jagal ini bukan asli dari negeri sini.
Pakaiannya serba putih dan memakai celemek merah.
Sang jagal pun mulai bicara
dan sambil tersenyum, walau seluruh kota banyak
poster-poster wajahnya, dan semua orang tahu
dia adalah The Smiling Jagal.

“Siapakah kamu
sebenarnya?
Haruskah aku
menjagal mu?”,
kata sang jagal.

“Akulah Ayam
dari desa Terjanji.
Kau tak perlu tahu
Mengapa aku disini?”,
balas ku.

“Laknat!!!
kau tak perlu hidup
dan aku ini membeli mu. Aku bisa
menjagal mu dan juga tak bisa menjagal mu.
Walau pun aku tak tahu salah dan benar mu.”,
nadanya mulai meninggi.

“Salah atau benar,
jagalah saja aku.
Inilah takdir.”,
jawab ku tenang.

Ku lihat sang jagal
mulai merah. Tumpahlah
semua amarah pada muka ku, lebam.
Lalu dia bersungut-sungut menuju wesafel.
Secara rinci dia menjilat dan mencuci
setiap jari dan ujung kuku
yang masih kotor akan upil dan sisa berak.

Datanglah mereka para penjagal.
Tamparan dan demi tamparan
ku rasakan hangat. Walau tak sehangat
ketek Ibu ku, tapi tamparan mereka
cukup nyaman.

Entah mereka kesurupan
oleh manusia mana.
Tiba-tiba seluruh
bulu-bulu ku
dibuang dan diundi oleh mereka.

Lalu terangkatlah parang darah dan luka
menembus dan menebas lambung ku.
“Sungguh dia ini Ayam lehor pilihan.”,
ucap seorang jagal.
Setelah terciprat darah dari lambung ku.

Nafas ku mulai berat.
Kehabisan darah dan lemas.
Nafas terakhir ku,
ku ucap salam untuk Ibu ku.

“Oh Ibu ku....
Oh Ibu ku....
Inilah aku anak mu.
Ku serahkan tubuh ku
untuk mereka yang kaya makmur
dan untuk mereka yang hampir mati
terpinggirkan.

(September, 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar