Rabu

Rindu Akhir Tahun

Kepada secangkir kopi,
aku titipkan syal ini.

Aku sudah tidak kedinginan
dipenghujung rindu ini.

(Desember, 2016)

Senin

Tanpa Saru

Kau lelaki,
sudikah kau bertelanjang diri
diatas liang ibu mu?
Sedari tadi banyak orang bercakap,
ibu mu mati karena penyakit saru.

Kau lelaki
sudikah kau menggali liang mu sendiri
disamping liang ibu mu?
Sedari lahir mereka sudah terkena penyakit saru.
Mungkin saja kau ingin menyusul ibu mu
di dunia tanpa saru.

(November, 2016)

Kamis

Untuk Calon Pelantang

Saran dari ku
untuk diri mu,
calon pelantang.

Jadilah pelantang
ditengah kerumunan orang.
Niscaya kau akan menang,
membunuh tanpa pedang.

Dengan pelantang
seorang pemuda jalang
bisa menjadi seorang pejuang.

Dengan pelantang
siaplah mati.
Mulut mu tersumbat senjata yang terkongkang,
telan bulat-bulat setiap panas amunisi.

Dengan pelantang
nama mu akan terbang.
Terbang melalui rongga-rongga masjid, dan
burung-burung gereja terbang membawa nama mu.
Nama mu akan tertanam dalam surat kabar, dan
berdesis di telinga-telinga  lewat radio.

Dengan pelantang
mereka berkabung diam,
dengan payung dan baju berwarna kelam.
Untuk mengenang
seorang pelantang
yang telah berpulang.

Pulang dan pergi
tanpa meninggalkan
sebongkah batu nisan.
Pergi tak kembali,
hanya meninggalkan
sebuah tanda tanya.

Aku bertanya pada mu,
calon pelantang.
Masih berminatkah engkau
menjadi seorang pelantang?

(November, 2016)

Jumat

Izinkanlah

Izinkanlah aku jadi debu
di kacamata mu, kekasih.
Agar selalu kau usap,
saban waktu lenggang mu.

(November, 2016)

Rabu

Insan Muda

Saat daun berguguran,
mereka tak pernah sungkan.
Saat air mata terjatuh,
siapa nak mengaduh.

Cipta sunyi berdiri,
gerangan mana berani.
Gelak tawa terhenti,
mengisah orang pergi.

Teramat dalam tepekur,
siapa nak gugur.
Kelok masa tercipta,
badan runtuh gelora.

Pujangga mati selama,
jauh nian adinda.
Pulau tak nampak hidung,
kian risau tak terbendung.

Dendang burung melagu,
insan muda diam merdu.
Lihat senyum menggulung,
ala kadarnya tak nampak murung.

Duhai insan muda,
nak gelisah gelora asmara.
Pulang ke rumah orang tua,
gadis tercinta pergi pada pemuda bersahaja.  

(November, 2016)

Jumat

Ah....

Seakan-akan malam ini kau sungguh berbeda dari biasanya. Setiap malam kau selalu nongkrong bersama ku di warkop ini. Warkop yang kecil di pinggir jalan, ramai saat jam malam sudah lewat. Selalu sama, kau memesan kopi yang beraroma asam setiap malamnya. Satu cangkir saja kau masih merasa kurang.
Ah… Aku lupa setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Selalu merenung tiada hentinya. Cangkir kopi milikmu selalu lebih cepat dingin. Tak habis. Terkadang aku kasihan pada bapak pemilik kopi ini. Selalu cermat melihat setiap pelanggan. Semalam suntuk dia menyuguhkan keringat dan nasib keluarganya pada secangkir kopi. Senang, bila setiap pelanggan bisa menenggak habis secangkir kopi buatannya. Tapi bila kau terus begini, apakah nasi yang dimakan oleh keluarganya akan terasa enak? Bila kau selalu mendiamkan kopi yang kau pesan. Dan tak pernah kau minum sama sekali.
Ah… Aku lupa setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Bapak penjual kopi ikut mengangguk saat bertatap wajah dan mata dengan ku. Seakan-akan dia paham dan tahu malam ini malam apa. Bapak penjual kopi pasti akan melayani kau. Walau dia tahu malam ini malam apa. Bapak penjual kopi tetap menyeduh kopi pesanan mu, dan akan terus berharap setiap tahunnya, pada malam  sebelum natal, kopi buatannya bisa diminum oleh mu dan membuyarkan lamunan mu.
 Ah… Aku lupa setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Selalu melamun tiada henti. Kau bahkan yang mengajak ku untuk minum setiap malamnya. Selagi kita terus bekerja dan berjaga, kau selalu begini. “Kapan kau akan terus begini, setiap tahun pada malam sebelum natal kau selalu begini?” tanya ku disela-sela suara gesekan sothil dan wajan dari pedagang bakmi godog di seberang jalan. Terkekeh kecil aku, pasti tak akan dijawab pertanyaan singkat ku ini.
Ah… Aku lupa setiap tahunnya pada malam sebelum natal kau selalu begini. Selalu saja aku menanyakan pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Teringat dimana malam yang belum dinamakan malam sebelum natal. Kau sungguh terliaht riang sekali. Sebelum kau mengajak ku minum di warkop pinggir jalan ini. Kau pergi tanpa kabar, tanpa memberikan pesan kepada diri ku. Kepergian yang belum jelas kau pergi kemana dan untuk apa. Pagi hari  kau berkata “Raf, aku sekarang punya anak, dia seorang lelaki, dan dia akan menjadi raja dunia ini. Ah…Bukan, bahkan menjadi raja seluruh  alam semesta ini!” sentak mu membangunkan ku. Bahkan bapak penjual kopi pun ikut terkaget-kaget dengan sentakan mu. Padahal aku yakin bapak penjual kopi itu sedang terlelap sebentar, bermimpi membelikan tas baru buat anaknya yang mau masuk sekolah.  Setelah pagi itu hingga saat ini kau tak pernah membahas tentang hal itu lagi. Ku dengar dari teman-teman satu pekerjaan dengan kita, kau tidak punya anak. Ini selalu menghantui ku saat kita setiap malam nongkrong di warkop ini.
 Ah… Aku lupa untuk malam sebelum natal, khusus malam ini aku ada janji dengan seorang wanita. Tanpa basa-basi aku pergi dari meja tempat kita biasa minum. Aku langsung ke kasir dan  membayar pesanan ku tadi. Sembari aku membayar aku berkedip dengan bapak penjual kopi.  Bapak pejual kopi sudah tahu dari arti kedipan ku. Dia mengangguk, paham bahwa aku menitipkan teman ku yang sedang melamun, dan aku pergi begitu saja.Seorang wanita sudah menungguku diteras rumahnya. Aku datang dengan terburu-buru, berharap dia tidak tertidur terlebih dahulu.
Ah…. Sudah ada secangkir teh dingin di meja teras rumahnya. Entah kenapa wanita kenalan ku ini terdiam juga. Melamun dan merenung persis seperti teman ku tadi. “Raf, kau tahu malam bulan ke-enam sebelum aku mengandung?” belum sempat aku duduk dia bertanya kepada ku. “Ya… aku tahu walau tak tahu semuanya. Memang ada apa Mar?”  Dia mempersilahkan aku duduk, dan aku mulai aku menenggak teh yang dihidangkannya. “Kau tahu anak ku semata wayang yang sudah mati bertahun-tahun yang lalu?”
“Ah…. Tentu saja aku tahu, Mar. Siapa yang tak tahu anak mu itu. Dia adalah lelaki yang sungguh-sungguh hebat luar biasa. Dia adalah raja dunia ini. Ah… bukan, bahkan dia raja seluruh alam semesta ini. Masa seorang aku tidak ….” jawaban ku terhenti, aku tercekat dan kaget dengan jawaban ku. Terasa aku tahu pertanyaan ku selama ini, pertanyaan yang selalu mengherankan aku setiap tahunnya, setiap malam sebelum natal.

***

Setiap tahunnya pada malam sebelum natal, pria bernama Gabriel itu selalu tidak menyentuh cangkir kopi buatan ku. Aku rasa dia sedang bersedih bukan melamun. Dia selalu ditemani oleh temannya Rafael, yang sekarang sedang pergi. Katanya dia mau menemui seorang wanita. Ah…Tapi biarlah, aku hanya seorang penjual kopi.

***

Rintik hujan mulai turun malam itu. Sepi di teras rumah menemani dua orang yang sedang terdiam. Malam sebelum natal, mereka berdua terdiam. Seolah- olah cerita yang diceritakan oleh anak-anak saat sekolah minggu selama ini palsu. Dengan memberanikan diri dan lirih Rafael bertanya. “Lalu sebenarnya dia anak siapa, Maria?”

(Oktober, 2016)

Minggu

Percakapan Warkop & Hujan

:antara aku dan Dia

Sungguh terdengar indah
rintik hujan membasahi jalan dan trotoar.
Syahdu angin menembus setiap basah kaos
pada kulit. Seorang lelaki paruh baya
sedang kerja dan berdoa di tengah jalan.
Berdoa agar Tuhan meredakan hujan
tengah malam ini. Agar di pagi hari
anak kesayangannya dapat sekolah
bersama matahari cerah.
Seketika hujan reda.

“Yahh…. Kau terlalu baik.
Aku kagum, sungguh kagum.
Tak layak aku jadi seperti ini.
Mengapa tak angkat dia jadi
seperti aku?” tanya ku.

Seperti biasa senyum ramah
terlebih dahulu. “Terkadang aku butuh
orang yang terlihat dan tak terlihat. Bila dia ku angkat
menjadi seperti mu. Lalu siapa yang akan mengantar
anak kecil itu?” sembari menunjuk gubug kecil
di tepi selokan.

Dalam tempat itu
surga terasa lebih
dekat. Dengan hangat
doa dalam setiap keringat dan lelap.

(Oktober, 2016)

Malaikat Hitam

Sedari kecil
saya selalu
diberi doa
oleh orang tua.
Sedari besar
saya ingin
memberi doa
kepada mereka.
Sedari mati
saya bingung
diberi atau memberi doa
untuk dan atau siapa?

Untungnya
aku ingat
sedari lahir
aku bukan pendoa
aku adalah penoda
bagi para pendoa
yang menodai doa.

(Oktober, 2016)

Sabtu

Bapak Hilang

:untuk kawan bulu tangkis saya

Untuk kawan dan sanak saudara
yang tengah kehilangan bapak mereka.

Saya sarakan untuk tidak berdoa,
tapi bawalah parang, dan angkat hingga melebihi kepala.

Karena sejatinya doa-doa bapak mu
terletak pada parang di dalam gudang rumah mu.

(Oktober, 2016)

Doa Dosa 1

Gusti Allah
yang sungguh Bergairah.
Jangan masukan hamba
ke dalam surga.
Tadi sore ini
saya sungguh ternoda,
nyolong cawet seorang janda
yang sungguh bergairah sekali.

(September, 2016)

Kamis

Tudung Putih

Untuk mu yang 
masih bertudung putih.
Tahukah kamu
obat bisul yang kamu dapat 
dari ayah mu itu.
Keringat ayah ku 
yang selama ini
diperas kerasnya zaman.

Untuk mu yang
masih bertudung putih.
Tahukah kamu
sikat gigi yang kamu pakai
dari ayah mu itu.
Tangis ayah ku
yang selama ini
disimpan dalam keriputnya.

Untuk mu yang
masih bertudung putih.
Tahukah kamu
tudung yang kau 
kenakan sekarang.
Masa depan ayah ku
yang selama ini
belum dilunasi oleh ayah mu.

Untuk mu yang
masih bertudung putih.
Apakah kau masih percaya
tudung mu bisa menebus 
haramnya dosa ayah mu?

Untuk mu yang
masih bertudung suci.
Melengganglah saja
dahulu tak apa.
Tapi, aku titipkan
raut mata ayah ku
yang semakin selalu sayu
mendengar kabar ayah mu.

Inilah yang namanya jalan.
Jalan mu jalan terabadikan.
Jalan ku jalan terabaikan.
Sayonara! Putih.

(September, 2016)